Rabu, 29 Mei 2013

DUA KUNCI


Tak nampak aktifitas apapun di koridor hotel lantai 5. Kamar 537 kutuju dengan langkah-langkah lebar.
"Ceklek...." gagang pintu yang ku putar tak bergerak

"ting...tong..." suara bel terdengar dari dalam kamar
"tok...tok.." ketukan di pintu menjadi pilihan untuk memastikan. Tetap tak ada jawaban.

"halo, ente di mana?" tanyaku, segera setelah Rhino mengangkat panggilan dari handphoneku.
"oke, saya ke situ ya?" jawabku memotong ucapan Rhino

Ternyata Rhino, teman sekamar yang memegang kunci sedang berada di kamar lain, untungnya masih di lantai yang sama.

Asap rokok menyambut di kamar yang ku tuju. Pertanda percakapan yang mengalir lancar. Tiga orang lain di kamar aku salami. Orang terakhir menahan tanganku agak lama kemudian mengatakan bahwa tanganku hangat. Hangat yang menandakan adanya suatu ketakutan dalam hidup-dalam hal menjalin hubungan dengan lawan jenis- dikarenakan beberapa peraturan adat.

Ramalan yang agak mengena itu, membuatku tertarik untuk terlibat dalam percakapan. Beberapa botol bir nampak di karpet dan di meja. Percakapan kemudian mengalir lambat dan kadang terjadi pengulangan topik dengan redaksi penuturan yang tak banyak berubah.
Ketika kebosanan mulai muncul, bapak yang duduk dengan posisi yang nyaman di pojok kamar dan yang mendominasi pembicaraan dari tadi mengucapkan kalimat yang terdengar sangat indah:

"Petir menyambar rumput di tepi danau...
Rumput itu terbakar.
Tapi embun malam turun menyelimuti...
Dan rumput tumbuh kembali"

Kalimatnya kurang lebih seperti itu. Tak dirincinya maksud dari puisi itu, namun aku mengartikannya sendiri untuk hidupku.
...Dan engkau bisa mengartikannya sendiri untuk hidupmu, kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWER

READ MORE