Rabu, 30 Desember 2015

AKU SALUT!


image courtesy of orig03.deviantart.net
Pundak itu tak pernah terlalu tua untuk menampung setiap sandaran bayi-bayinya yang kini telah dewasa. Bahu itu tak sekuat dulu, namun tak pernah berkurang kenyamanan yang bersemayam padanya. Kami akan berebut kenyamanan itu pada saat-saat sebelum tidur, ketika kecil dulu. Aku selalu berhasil melingkarkan lenganku ke lehernya, kakakku dengan sengaja mengalah dan melingkarkan lengannya ke pinggang ibu. Sekarang, di umurnya yang telah dewasa, dia masih menemukan kenyamanan itu ketika bersandar di bahu ibu. Tanpa kata, menceritakan segala bebannya, membiarkannya tenggelam dalam lelap. Di bahu itu, dalam setiap pelukan, kami temukan surga. Entah mengapa mereka menemukannya di telapak kakinya.

♣♣♣

"Saya ga jadi ikut, turun di sini saja!"

"Kenapa?"
"Ada acara di rumah, nanti ga ada yang kerja kalo saya pulang telat. Sori banget ya.!"
"Tidak apa-apa kok. Dimaklumi"

Mae membatalkan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah seorang sahabat karena teringat hari ini adalah ulang tahun pernikahannya. Sebuah syukuran sederhana bersama teman-teman masa kuliah telah direncanakan untuk dilaksanakan sore itu di rumah mereka. Rumah sahabat yang ditujunya berjarak beberapa puluh kilometer dan akan memakan beberapa jam untuk perjalanan pulang pergi. Sebuah keputusan berdasarkan sebuah prioritas. Mungkin naluri seorang ibu rumahtangga. Aku salut.

♣♣♣

Memasak makanan untuk keluarga, merawat dan menjaga anak, dan mengejar karir. Tak pernah terbayangkan ketiga hal itu akan mereka lakukan dalam kesehariannya. Terasa belum terlalu lama ketika kami bersama-sama menjalani kebersamaan di persekutuan mahasiswa perantau. Melaksanakan kegiatan ini dan itu. Tak canggung mereka akan melakukan kegiatan-kegiatan di dapur yang mungkin tak akan tersentuh oleh mahasiswa-mahasiswa sekarang dengan alasan gengsi. Sekarang aku akan belajar kedewasaan kalian dalam menjalani hidup berkeluarga. Aku salut.

♣♣♣

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FOLLOWER

READ MORE